Kamis, 12 Mei 2011

Hanya Satu Adzan Cukup Untuk Seluruh Mesir?



KAIRO (Berita SuaraMedia) – Ketika fajar menyingsing dari menara batu kembar Bab Zuwaili, panggilan sholat terdengar menggema ke seluruh Kairo, sejak gerbang besar dan kuat itu dibangun pada abad 11.

Dulu, sang muazin akan menutup mata, mengeraskan suara hingga ke langit dan melantunkan adzan.

Dari sejumlah Masjid yang terletak di beberapa jalan, panggilan sholat itu akan diulang ke seluruh penjuru kota hingga ratusan menara Masjid bersatu dalam paduan suara yang menggelegar.

Kini, teknologi telah mengambil alih dalam bentuk amplifier, mikrofon, dan pengeras suara.

Seringkali, panggilan sholat itu dikumandangkan dengan bersaut-sautan dan tidak harmonis.

Suara-suara berdeham, menelan ludah, atau membunyikan rahang ikut tersiarkan di antara kumandang adzan.

Semakin banyak warga Kairo yang mengeluh bahwa panggilan sholat kini menjadi kurang syahdu dan merdu, hanya sekedar seruan-seruan yang gaduh.

Pemerintah pun berusaha untuk menyatukan adzan dengan menyiarkan suara satu muazin lima kali sehari ke seluruh 4000 Masjid di kota tersebut.

Menteri Penegakan Agama (Awqaf), Mohammed Zaqzouq, telah meninjau proyek yang kontroversial dan ambisius itu.

"Kami telah kehilangan spiritualitas dari adzan," jelasnya. "Belakangan ini, para muazin berlomba di mikrofon untuk melihat siapa yang bisa melantunkannya paling keras."

Dalam beberapa bulan ke depan, panggilan sholat itu akan dipusatkan dan disatukan.

Bunyi adzan yang sama akan ditransmisikan dari radio pemerintah ke semua Masjid.

Di sana, bunyi adzan akan diterima oleh penerima yang telah disesuaikan dan dikirimkan dalam sinkronitas yang sempurna ke seluruh Kairo.

Beberapa kritikus khawatir pemerintah Mesir juga akan mencoba mengontrol khotbah Jumat di masa depan. Sebuah tuduhan yang dibantah oleh kementerian.

Kekhawatiran lebih lanjut dari para oponen adalah masa depan ribuan muazin, yang secara tradisional memberikan setiap Masjid sebuah suara individual melalui lantunan adzan mereka.

Mereka bangga dengan pekerjaan itu, menjadi seorang relijius yang dapat melantunkan setiap huruf Al Quran dengan suara sebening kristal.

Jumlah mereka akan dikurangi hingga hanya 30 orang, dipilih dari ratusan pelamar.

Kementerian mengatakan mereka yang tak terpilih akan diminta melakukan tugas lain di Masjid.

Sayyid Hammad, salah satu insinyur yang bertanggung jawab menyesuaikan sistem penerima di Masjid-masjid, mengatakan bahwa sebagian besar umat yang taat menentang rencana pemerintah tersebut.

"Mereka menganggap ini bertentangan dengan semangat Islam. Mereka terbiasa mendengar suara-suara muazin dari seluruh penjuru kota. Akan membutuhkan waktu untuk terbiasa dengan rencana baru ini," jelasnya.

Di Masjid Al Hussein, proposal pemerintah itu telah memecah para jamaah.

Youssef Bakri, yang datang untuk melaksanakan sholat Jumat, menerima keragaman dari para muazin.

"Adzan yang kita dengar memang harus berbeda-beda, unik di setiap Masjid," ujarnya.

Namun jamaah yang lain, Said Abdul Wahab, menggambarkan suara-suara itu seperti sebuah keributan.

"Masjid-masjid itu semuanya memulai adzan pada waktu yang berbeda-beda," ujarnya. "Yang dapat kau dengarkan adalah suara yang membingungkan dan sangat keras. Saya bersedia menerima perubahan."

Abdul Wahab, yang tinggal di dekat sebuah Masjid di pusat kota Kairo, setuju dengan dibutuhkannya sebuah perubahan.

"Pada umumnya, di dalam Islam, penting bagi muazin untuk memiliki suara yang indah. Namun belakangan ini, siapa pun yang mengurus Masjid diperbolehkan untuk melantunkan adzan."

"Tentu saja, bagi sebagian orang itu akan terdengar seperti nyanyian yang indah. Kairo adalah kota dengan 1000 menara Masjid, dan ketika mereka semua melantunkan adzan dalam waktu yang bersamaan dapat terdengar sangat indah."

"Namun jika kau tinggal sangat dekat dengan Masjid dan muazinnya tidak terlalu bagus – saya tidak yakin Nabi melakukan hal itu," ujarnya.

Beberapa pihak mengusulkan bahwa solusi yang paling mudah adalah dengan kembali ke masa lampau, ketika panggilan sholat di atas Bab Zuwaili dikeraskan oleh sang muazin sendiri tanpa bantuan teknologi.

Secara historis, tentu saja, suara mereka hanya disaingi oleh hiruk pikuk bunyi gerobak keledai dan pedagang di jalan. Apakah suara mereka masih dapat terdengar di tengah keributan lalu lintas selama 24 jam hari ini adalah persoalan lain. (rin/bbc) www.suaramedia.com

0 komentar:

Posting Komentar