Rasa sakit yang membelenggu hampir sepanjang waktu membuat Nina nyaris gelap mata dan nekad mengakhiri hidupnya. Kalau saja ia tak bertemu dengan seorang dokter ahli yang berhasil mendiagnosa penyakitnya dengan akurat, perempuan berusia 44 tahun itu mungkin kini sudah tinggal nama.
Rasa nyeri awalnya dialami Nina sejak sekitar 9 tahun lalu. Ketika terbangun dari tempat tidur pada suatu pagi, telapak kakinya terasa sakit seperti ditusuk-tusuk jarum. Nina awalnya mengira hal itu hanya sesuatu hal biasa. Tetapi kemudian, rasa sakit itu kerap dirasakannya setiap pagi dan selalu mengganggu aktivitasnya.
Seiring berjalannya waktu, keluhan nyeri sendi pun semakin menjadi. Nina pun lalu memeriksakan kondisi kesehatannya kepada seorang dokter, dan ia pun divonis menderita asam urat. Tetapi pengobatan dokter tak kunjung memperbaiki kondisinya. Nina pun lalu memutuskan untuk menemui dokter lainnya, dan kali ini ia divonis menderita rematik.
Dari hari ke hari, rasa sakit pada sendi tak kunjung jua menjauh dari tubuh Nina. Obat-obat pereda sakit yang diberikan dokter hanya mampu meredam penderitaannya untuk beberapa saat saja. Sementara seluruh sendi pada bagian tubuh Nina semakin kaku dan linu saja, sehingga membuatnya putus asa.
Tak jarang Nina pun mengerang kesakitan menahan derita. Ia bahkan sering terjatuh, terbujur kaku dan tidak bisa bangkit dari tempat tidur di pagi hari selama beberapa jam karena semua sendi terasa sangat linu.
Akibat penderitaan ini pula, Nina hampir kehilangan banyak hal penting dalam hidupnya. Pekerjaannya sehari-hari sebagai pegawai di sebuah kantor lembaga keuangan di Jakarta praktis terganggu. Bahkan, ia pun begitu terpukul karena tak lagi bisa melayani sang suami tercinta sebagaimana mestinya.
"Saya nyaris bunuh diri karena penderitaan yang luar biasa. Saya bingung dengan penyakit ini, apalagi kondisi ini saya alami hampir delapan tahun lamanya," ungkap Nina yang ditemui di sela-sela media workshop di Jakarta, Senin (16/5/2011). Titik terang bagi Nina akhirnya mulai muncul ketika pada tahun 2008, ia dirujuk ke seorang dokter ahli Reumatologi di sebuah klinik di Jakarta. Berdasarkan hasil pemeriksaan intensif dan skrining laboratorium, dokter memvonis Nina menderita Artritis Reumatoid (AR), sejenis penyakit otoimun progresif yang ditandai peradangan pada persendian.
Melalui penanganan dan terapi yang pengobatan tepat, Nina kini dapat menjalani hari-harinya dengan lebih baik. Walaupun tidak bisa sembuh total dari penyakitnya, Nina kini dapat beraktivitas normal, meski ia masih harus tetap melakukan kontrol secara teratur.
Pencuri kehidupan
Menurut Harry Isbagio, pakar Reumatologi Indonesia yang juga guru besar Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM, Artritis Reumatoid (AR) merupakan penyakit yang jarang ditemukan di Indonesia dengan prevalensi sekitar 0,1 hingga 0,3 persen pada usia dewasa.
Penyakit ini sebenarnya dapat menyerang semua usia, tetapi risiko bakal meningkat pada dewasa usia produktif, di mana wanita adalah kalangan yang berisiko lebih besar yakni 3 hingga 4 kali lipat.
Penyakit AR ini juga sering disebut si pencuri kehidupan karena dampaknya yang luar biasa, mulai dari kerugian dari sisi ekonomi, ketidaknyamanan, kecacatan, disabilitas hingga kematian. Kerusakan sendi biasanya sudah terjadi pada 6 bulan pertama terserang penyakit ini dan cacat akan terjadi 2 sampai 3 tahun bila tidak kunjung diobati.
"Sekitar 40 hingga 85 pasien AR tidak akan mampu bekerja setelah 8 hingga 10 tahun onset penyakit bila tidak diterapi secara tepat," ungkap Harry dalam workshop bertajuk 'Pentingnya Deteksi Awal Artritis Reumatoid Untuk Mencegah Dampak Penyakit Kardiovaskular' itu.
Saat ini, lanjut Harry, hal yang menjadi problem di Indonesia adalah masih sulitnya mendeteksi AR secara dini karena tidak semua dokter dapat mendiagnosa secara tepat dan akurat. Seringkali dokter mencurigai pasien hanya mengalami penyakit asam urat atau rematik berdasarkan nyeri yang dilaporkannya.
"Ada sekitar 100 jenis penyakit rematik yang ada saat ini, sehingga sulit untuk memastikan apakah pasien menderita AR, apalagi bagi para dokter yang tidak setiap hari menangani masalah reumatoid," ujarnya.
Walaupun tampak tertatih-tatih saat berjalan, Nina kini dapat menjalani kehidupannya dengan lebih baik. Ia menggunakan terapi obat DMARD (Disease Modifying Arthritis Rheumatoid Drug) jenis biologis yang harganya memang masih sangat mahal. Pengobatan ini bertujuan untuk memperlambat dan mencegah progresivitas penyakitnya.
"Untuk jangka enam bulan saja, biaya untuk obat jenis biologis ini membutuhkan biaya sekitar 60 juta rupiah. Jadi penyakit ini memang bisa sangat menguras kantong si penderita," ungkap Harry.
Terapi AR secara dini dan progresif, lanjut Harry, sangat diperlukan bagi pasien karena pengobatan semenjak dini akan menentukan keberhasilan terapi. Meski tidak dapat menyembuhkan penyakit atau mengembalikan kondisi seperti sedia kala, terapi dapat memperbaiki kualitas hidup pasien lebih baik. Selain itu juga mencegah risiko kecacatan dan risiko yang lebih buruk yakni kematian.
Timbulnya nyeri pada persendian kemungkinan disebabkan karena kegagalan mekanis atau peradangan oleh infeksi, penyakit atau sebab lain. Oleh karena itu, jangan pernah meremehkan keluhan nyeri sendi yang menimbulkan kekakuan gerak dan nyeri yang menyebar luas.
Secara umum nyeri sendi dibagi menjadi tiga jenis, yakni nyeri sendi saja yang gejalanya hanya rasa pegal-pegal, nyeri sendi non inflamasi, yakni ada nyeri sendi yang disertai gangguan gerak tapi tidak disertai peradangan yang nyata. Biasanya ini adalah nyeri sendi akibat pengapuran atau faktor usia.
Nyeri sendi yang ketiga dan perlu diwaspadai adalah nyeri sendi yang disertai peradangan nyata, yakni ada bengkak, rasa panas, dan kemerahan. Menurut penjelasan Prof. Dr.Harry Isbagjo, Sp.PD-KR, nyeri sendi tersebut merupakan gejala dari Artritis Reumatoid (AR).
"Berbeda dengan rematik biasa, artritis reumatoid bukan diakibatkan gangguan pada persendia. Ini adalah penyakit autoimun, di mana sistem imun salah mengenal dan menyerang jaringan tubuh yang normal. Mula-mula hanya bengkak, lama kelamaan anggota tubuh menjadi bengkok hingga akhirnya cacat," kata dr.Harry, dalam acara media edukasi Cakrawala Baru dalam Terapi Artritis Reumatoid yang diadakan oleh Roche Indonesia di Jakarta (11/10).
Peradangan yang terjadi pada penyakit AR menyebabkan distorsi pada sendi dan menurunkan fungsi, yang disertai rasa nyeri, kaku dan pembengkakan dan akhirnya mengarah pada kerusakan sendi yang tidak dapat diperbaiki dan kecacatan. "Banyak sekali pasien yang datang dengan kondisi penyakit sudah parah, sehingga kebanyakan duduk di kursi roda, dipapah atau memakai tongkat," katanya.
Ia menyarankan agar setiap keluhan nyeri sendi ditanggapi serius. "Nyeri sendi juga bisa disebabkan oleh penyakit di luar rematik, seperti penyakit leukimia atau lupus. Segera berobat ke dokter jika nyeri sendi sudah berlangsung terus menerus selama 6 minggu karena itu bisa jadi gejala AR," kata dokter yang pernah menjabat sebagai Ketua Umum Ikatan Reumatologi Indonesia ini. (fn/k2m) www.suaramedia.com
0 komentar:
Posting Komentar