BAGHDAD (Berita SuaraMedia) – Di jalanan di lingkungan kelas pekerja Baghdad Baru, di sebelah sebuah Masjid yang sering dikunjungi oleh para pengikut Moqtada al Sadr, anak-anak bermain di halaman sekolah Gereja Katolik St. Elia.
Tempat itu dulunya adalah lingkungan campuran, rumah bagi warga Sunni, Syiah, dan – sebelum perang – 2,500 keluarga Kristen. Tapi kekerasan etnis yang terjadi di sana melanda semua orang dan meninggalkan lingkungan yang didominasi Syiah di sekeliling sekolah dan gereja Katolik.
"Delapan puluh dua persen murid di sini adalah Muslim," ujar Bapa Douglas al Bazi, pendeta Katolik Chaldean yang mengelola sekolah itu di Baghdad Timur. Ketika dia bergegas ke Gereja Bunda Keselamatan di Karrada pada tanggal 20 Mei setelah berita tentang sebuah penyanderaan, tetangga-tetangga Muslimnya menawarkan bantuan mereka.
"Kami mendapat telepon dari para tetangga. Mereka mengatakan ‘Beri kami lampu hijau dan kami akan membantu orang-orang di dalam’," ujarnya. "Tetangga-tetangga kami di sini mengatakan, ‘Jika seseorang menyentuhmu maka itu berarti mereka menyentuh kami’."
Di sebuah negara yang hampir tercerai-berai oleh kekerasan sektarian, kaum Kristen dan Muslim mengatakan serangan-serangan itu direkayasa secara politik dan didorong oleh negara-negara tetangga. Mereka merujuk pada sejarah panjang mereka dalam hidup berdampingan dan menyoroti sejumlah contoh kerjasama bahkan di tengah situasi keamanan yang tegang di Irak hari ini.
"Ketika saya kembali ke lingkungan ini, saya menemukan semua tetangga di luar menunggu untuk menyambut saya kembali," ujar George Meti Boutros, seorang guru bahasa Arab yang selamat dari serangan gereja Karrada. Dia mengatakan bahwa dirinya adalah satu-satunya orang Kristen yang tinggal di lingkungannya di Bab al Sharja.
Di St. Elias, empat dari 53 pengajarnya adalah Muslim, didedikasikan untuk mengajarkan Al-Qur'an, seperti yang dimandatkan oleh regulasi pemerintah. Subyek-subyek lainnya termasuk bahasa Inggris, Perancis, dan mulai tahun ini bahasa Assyria – bahasa daerah dari banyak murid Kristen Chaldean.
Terlepas dari kurikulum akademis dan fokusnya pada musik dan olahraga, salah satu alasan utama para orangtua memilih St. Elia jauh lebih sederhana: Sekolah ini tidak mengizinkan murid atau guru memukul siapapun. Sekolah-sekolah umum di Irak terkenal akan perilaku kekerasannya.
"Pagi ini salah satu murid memukul temannya dan saya menulis ke orangtua mereka untuk memberitahu," ujar Bapa Douglas. "Jika seseorang membawa pistol mainan kami mematahkannya di depan mereka."
Setelah serangan di gereja Karrada yang menewaskan 53 orang, termasuk dua rekan pendetanya, Douglas menggunakan pidato pagi harinya di hadapan para murid untuk berbicara pada mereka tentang hal ini.
"Kemarin saya memberitahu murid-murid bahwa saya kehilangan dua saudara terkasih tapi itu tidak boleh membuat kita menjadi pesimis," ujarnya. "Kita harus tahu bahwa ketika seseorang menyentuh kekerasan maka akhir baginya adalah kematian. Perhatikan masa depan kalian karena kalianlah masa depan itu. Pelihara jangan sampai kekerasan menjadi bagian dari kehidupan kalian." (rin/csm) www.suaramedia.com
0 komentar:
Posting Komentar